Tab Menu E

Minggu, 20 Juni 2010

IMAM GHAZALI DAN PERANG SALIB

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111) – dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).

Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”

Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).

Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.

Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ al-Zuhayliy mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).

Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.” (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).

Posisi al-Ghazali

Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).

Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.

Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.

Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.

Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad. Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of 'Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie. http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).

Jihad bil-ilmi

Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).

Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).

Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. (***).

IMAM AL-SYAFI’I: SANG MUJADDID

Imam al-Syafi’i bisa dikatakan sebagai tokoh yang paling berjasa dalam meletakkan fondasi dasar ilmu Ushul Fiqih. Bukunya, Risalah adalah buku pertama yang pernah ditulis dalam bidang ini. Fakhruddin al-Razi menyamakan Imam Syafi’i dengan Aristotle dalam logika, dan dengan al-Khalil bin Ahmad dalam prosody (ilmu persajakan). (Lihat, Fakhr al-Din al-Razi, Manaqib al-Imam al-Shafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993)).

Menurut Jamal Barut, jasa besar Imam Syafi’i sebenarnya terletak pada keberhasilannya mentransfomasikan usul fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu. (Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysuni and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtihad: al-nass, al-waqi‘, al-maslahah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000)).

Sementara itu Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam bukunya, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, memposisikan Imam Syafi’i sama seperti Descartes, ahli filsafat yang paling bertanggung jawab meletakkan dasar metodologi pemikiran Barat. Memang ada yang meragukan pendapat ini. Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi’i was the first legal thinker who introduced the principles of law would not seem to be correct.” (Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad, Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994). Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wasil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali menulis tentang usul fiqh. (Ibid).

Tapi, bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, bahwa Imam al-Syafi’i adalah tokoh dan ulama besar dalam bidang Ushul Fiqh. Jasa besarnya terletak pada keberhasilannya mensistimasikan dan selanjutnya mentransfromasikan pola pikir ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal hari ini dengan Ushul Fiqh. Seperti yang diutarakan N.J. Coulson, dalam A History of Islamic Law, teori Ushul Fiqh Syafi’i “was an innovation whose genius lay not in the introduction of any entirely original concepts, but in giving existing ideas a novel connotation and emphasis and welding them together within a systematic scheme.” Dengan nada yang sama Joseph Schacht berkomentar bahwa Risalah Syafi’i adalah “a magnificently consistent system and superior by far to the doctrines of ancients schools of law”. (Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1959).

Sebenarnya, Ushul Fiqh sangat erat kaitannya dengan persoalan epistemologis. Hal yang mendorong Imam Syafi’i menuliskan karya agungnya, al-Risalah, adalah juga pertimbangan epistemologis. Yakni, Imam Syafi’i ingin ‘mendamaikan’ konflik antara kubu ‘Iraq yang biasa disebut dengan ahl ra’y dan kelompok ahl Hijaz dikenal dengan ahl Hadith. Imam Syafi’i ingin mensintesakan pendekatan kedua mazhab pemikiran ini. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal. Wahyu dalam hal ini termasuk Hadith merupakan sumber otoritatif dalam hukum Islam, demikian juga akal. Tapi apa fungsi akal, kapan dia berfungsi, dan apa batasan fungsinya, inilah yang dijelaskan al-Syafi’i dalam Risalah. Oleh sebab itu, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa yang pertama sekali meletakkan dasar epistemologis pemikiran Islam itu sesungguhnya adalah Imam al-Syafi’i melalui magnum opus-nya al-Risalah. Sebab, Syafi’ilah yang pertama sekali memformulasikan teori hirarkis sumber hukum dan sekaligus sumber keilmuan dalam perspektif Islam. Dia menuliskan “wajihah al-‘ilm al-khabar fi al-kitab aw al-sunnah aw al-Ijma’ aw al-Qiyas.” Artinya: ilmu diperoleh malalui khabar; al-Qur’an atau Sunnah, kemudian Ijma’ dan Qiyas.” (Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Rislah, diedit oleh Ahmad Muhammad Syakir (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, TT)).

Bentuk hirarkis seperti ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu itu berdasarkan otoritas. Maka sumber ilmu yang paling otoritatif dan reliable dalam Islam adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah, kemudian kesepakatan ‘ulama (ijma’) dan selanjutnya akal. Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an dan demikian juga ima’ dan akal tidak mungkin betentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalaupun dikatakan ada konflik, menurut Syafi’i itu hanya zahirnya saja. Karena pada dasarnya tidak mungkin ada konflik antara sumber-sumber ilmu ini. Untuk menjelaskan inilah, maka Imam al-Syafi’i mengembangkan teori interpretasi al-Qur’an dimana ia menjelaskan tentang teori ‘am dan khas, zahir dan batin, nasikh dan mansukh, dan seterusnya. Maka terkadang ada ayat dalam bentuk umum, tapi yang dimaksudkan yang lebih spesifik, atau bentuk umum tapi dimaksudkan kedua-duanya sekali. Demikianlah seterusnya, al-Syafi’i menjabarkan koherensi al-Quran dengan sumber-sumber ilmu yang lain.

Sebagai sosok yang pantas digelari sang “Mujaddid” Imam al-Syafii bukan saja dikenal dalam dan luas ilmuanya. Akhlak dan kepribadiannya juga sangat mengagumkan. Ibadahnya luar biasa. Imam Syafii sendiri bercerita, ia lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra Arab, termasuk syair. Selama bertahun-tahun, Syafi’i kecil belajar bahasa di tengah suku Hudzail, yang dikenal sangat fasih bahasa Arabnya.

Sang Imam sudah menghafal al-Quran saat berumur 7 tahun, dan hafal Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik pada umur 10 tahun. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur dan mendapatkan pengakuan yang luas. Pada umur 18 tahun, beliau sudah diminta oleh para ulama agar memberikan fatwa. Itu berarti pengakuan atas statusnya sebagai seorang mujtahid. Meskipun memiliki sejumlah perbedaan pendapat, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui, Imam Syafii adalah seorang yang sangat memahami al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Ia tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits. Kata Imam Ahmad : ‘’Tidak seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada Imam Syafii.’’

Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Di bulan Ramadhan, beliau sanggup mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali dalam shalat. Sang Imam pun dikenal ahli ibadah dan sangat sedikit tidurnya. Selama kurun waktu 16 tahun, misalnya, beliau hanya pernah makan sampai kenyang, satu kali saja, dan kemudian disesalinya, karena berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah. Kedermawanan Imam Syafii juga luar biasa. Pernah beliau sampai bangkrut tiga kali, menjual harta sampai perhiasan istrinya, hanya untuk menolong orang yang membutuhkan. Jangan ditanya, bagaimana kegigihan Imam Syafii dalam belajar dan mengajarkan ilmunya.

Inilah profil tokoh yang pantas digelari sebagai Sang Mujaddid. Dia bukan orang sembarangan, yang asal-asalan berpendapat. (***)

MENJAWAB KRITIK ORIENTALIS

Arthur Jeffery (m. 1959) adalah seorang orientalis terkemuka dalam studi sejarah al-Qur’an. Ia menghabisi hampir keseluruhan hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an. Ia mengedit beberapa karya para ulama kita seperti Kitab al-Masahif, karya al-Sijistani, anak Abu Daud, seorang Muhaddits terkenal dan juga Muqaddimah Kitab al-Mabani dan Muqaddimah ibn Atiyyah. Selain itu, Ia menulis beberapa buku lagi dan tentunya artikel yang berkaitan dengan al-Qur’an.

Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an yang ada sekarang ini sebenarnya telah mengalami berbagai tahrif yang dibuat ‘Uthman bin Affan, al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi dan Ibn Mujahid. Menurut Jeffery, Uthman ra tidak sepatutnya menyeragamkan berbagai mushaf yang sudah beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dalam pandangan Jeffery, tindakan Utham ra. tersebut, didorong oleh motivasi politik. Jadi, jika logika Jeffery diikuti, maka ‘Uthman telah melakukan tahrif pertama al-Qur’an dengan melakukan kanonisasi.

Jeffery juga menuduh bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (m.95 H) telah membuat al-Qur’an versi baru secara menyeluruh. Jeffery juga menyalahkan Ibn Mujahid yang mengikis perbedaan qiraah dengan memprovokasi khalifah untuk menghukum Ibn Shanabudh di Baghdad (245-328). Selain itu, dalam pandangan Jeffey, al-Qur’an memuat sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. (1) Aksara gundul di dalam Mushaf ‘Uthman yang menjadi penyebab perbedaan varian bacaan. (2) Mushaf-Mushaf yang sejak awal sudah beredar adalah Mushaf-Mushaf tandingan (rival codices). Berdasarkan Mushaf-Mushaf tersebut, Jeffery berpendapat bahwa al-Fatihah bukanlah bagian dari al-Quran. Al-Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca al-Qur’an. (3) Jeffery juga menegaskan bahwa ada ayat-ayat yang hilang di dalam al-Qur’an.

Berikut ini jawaban kepada tuduhan-tuduhan Jeffery. ‘Uthman ra. melakukan standartisasi teks bukan karena alasan politis, namun untuk menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-Qur’an. Jadi, tindakan ‘Uthman ra sangat diperlukan karena Ia mempertahankan kebenaran otentisitas al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan Uthman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus’ab bin Sa‘d, tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan ‘Uthman ra. (Lihat Abu ‘Ubayd al-Qasim Ibn Sallam, Fadha’il al-Qur’an, Editor Wahbi Sulayman Ghawaji, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991, Cet. Pertama; lihat juga Abu Bakr ‘Abdullah Ibn Abu Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, Editor Muhibbuddin Abd Subhan Wa’id, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2002, Cet. Kedua, Jilid I ).

Jeffery dengan mengeksploitasi informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif, menuduh al-Hajjaj telah merubah al-Qur’an. Bagaimanapun, Jeffery tidak mengkaji lebih lanjut mengenai sanad yang ada di dalam karya tersebut. Padahal kalangan muhaddithun mengklasifikasikan ‘Abbad ibn Suhayb sebagai seorang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin). Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan memuat berbagai pendapat para muhaddithun mengenai ‘Abbad ibn Suhayb sekaligus contoh-contoh hadits yang diriwayatkannya. Jadi, riwayat ‘Abbad bukan saja lemah, namun lebih tepat dikatakan palsu. Hampir seluruh muhaddithun, baik sebelum atau sesudah ‘Ibn Abi Dawud menolak hadits dari ‘Abbad ibn Suhayb. Riwayat dari ‘Auf ibn Abi Jamilah juga bermasalah. Sekalipun ia thiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj, sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi target ‘Auf ibn Abi Jamilah.

Argumentasi lain yang perlu juga dikemukakan sebagai berikut. Pertama, al-Hajjaj setia kepada ‘Uthman. Ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh ‘Uthman. Ia akan membela Mushaf ‘Uthman dari segala bentuk perobahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Masahif ’Uthmani sudah tersebar dimana-mana dan jumlahnya sangat banyak. Al-Hajjaj adalah salah seorang saja dari Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas. Seandainyapun, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan yang ada Kufah, daerah kekuasannya, tetap saja ia tidak akan sanggup mengubah ribuan atau semua salinan yang ada di Mekkah, Medinah, Syam, dan di daerah lain. Ini belum termasuk yang dihapal oleh puluhan ribu kaum Muslimin saat itu. Jelas, al-Hallaj tidak bisa merubah yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin itu. Ketiga, seandainya al-Hajjaj mengubah Mushaf ‘Uthman, maka tentu ummat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak merubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah al-Qur’an, dinasti Abbasiah akan mengeksploitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj atau Bani Umayyah. Namun, informasi seperti itu sama sekali tidak ada.

Tuduhan Jeffery kepada Ibn Mujahid juga tidak tepat karena memang bacaan Ibn Shanabudh adalah janggal (shadh). Ibn Shanabudh menyepelekan ortografi Mushaf ‘Uthmani dan isnad, padahal itu termasuk syarat yang ditetapkan oleh para ulama bahkan sebelum Ibn Mujahid. Syarat sahnya qira’ah itu adalah sesuai dengan ortografi Mushaf ‘Uthman, mengikut isnad dan sesuai dengan kaidah tata-bahasa Arab. Ini adalah Ijma‘ Ulama. Karena itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shanabudh didukung oleh para ulama lain. Selain Ibn Shunbudh, pemikiran Ibn Miqsam (m. 362 H) yang tidak menjadikan otentisitas isnad juga ditolak oleh para ulama yang sezaman dengan Ibn Miqsam. Akhirnya, Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kesepakatan para ulama.

Menurut al-Baqillani, perbedaan diantara para Qurra, bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih sesuka hati cara baca apa saja sesuai dengan keinginan. Pendapat seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya. Cara membaca bisa diterima jika hanya ditransmisikan dengan sanad yang otentik, yang merupakan Ijma‘ Ulama, sebagaimana praktek para salafi. Para Qurra tidak boleh membaca al-Qur’an tanpa memenuhi kesepakatan syarat-syarat riwayah. (Lihat Ahmad ‘Ali al-Imam, Variant Readings of the Quran: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998).

Jeffery juga tidak tepat ketika mengatakan bahwa aksara gundul adalah penyebab terjadinya perbedaan qiraah. Padahal perbedaan qira’ah berawal dan berasal dari Rasulullah saw sendiri. Al-Qur’an diwahyukan secara lisan dan ungkapan lisan Rasulullah saw kepada ummat berupa teks sekaligus cara mengucapkan (prononsiasi). Yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Para sahabat tidak ada yang menginovasi qira’ah. Qira’ah muncul karena sebagian Sahabat sulit untuk menggunakan dialek Quraisy. Qira’ah adalah sunnah yang harus diikuti (al-qira’ah sunnah muttaba’ah). Sekiranya pendapat Jeffery dan orientalis yang lain benar bahwa tidak adanya titik dan harakah menjadi penyebab utama perbedaan qira’ah, maka Mushaf Uthmani akan memuat mungkin jutaan masalah qira’ah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi Jeffery juga salah karena para Qurra’ banyak sekali yang sepakat dengan qira’ah dalam ortografi yang sama. (Lihat Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Qur’anic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, Leicester: UK Islamic Academy, 2003).

Pendapat Jeffery yang mengatakan bahwa terdapat sejumlah Mushaf-Mushaf yang menandingi Mushaf ‘Uthmani juga tidak tepat. Mushaf-Mushaf tersebut saling berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu juga, terdapat sejumlah permasalahan mendasar di dalam Mushaf-Mushaf tersebut, yang sebenarnya adalah catatan pribadi para sahabat. Jadi, tidak tepat menganggap bahwa catatan tersebut sebagai al-Qur’an. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, tidak mencantumkan surah al-Fatihah, al-Nass dan al-Falaq. Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an sebenarnya tidak memuat al-Fatihah. Pendapat ini jelas keliru. Al-Fatihah adalah surah di dalam al-Qur’an yang paling sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah. Di dalam sholat yang dapat diidengar, di baca 6 kali dalam satu hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, di dalam al-Tafsir al-Kabir, Fakhruddin al-Razi menolak pendapat yang mengatakan bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an.

Jeffery juga berpendapat bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak termasuk di dalam al-Qur’an. Pendapat ini tidak tepat karena yang dari murid-murid Ibn Mas‘ud, selain Zirr, semua meriwayatkan al-Qur’an dari Ibn Mas‘ud secara keseluruhan 114 surat. Menurut al-Baqillani, Ibn Mas‘ud tidak pernah menyangkal bahwa al-Fatihah dan juga surah al-mu’awwidhatain adalah bagian dari al-Qur’an. Orang lain yang salah dengan mengatasnamakan pendapat ‘Abdullah ibn Mas‘ud.

Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat perbedaan mengenai isi dari Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud. Versi yang dikemukakan oleh Ibn Nadim di dalam Fihrist berbeda dengan versi al-Suyuthi di dalam Itqan. Selain itu, Ibn Nadim juga menyebutkan bahwa dia sendiri telah melihat al-Fatihah di dalam Mushaf lama Ibn Mas‘ud.

Mengenai al-Nas dan al-Falaq, seandainya kedua surah tersebut tidak termasuk dari al-Qur’an, niscaya akan muncul banyak riwayat di dalam hadith yang membenarkan fakta tersebut. Karena riwayat tersebut tidak ada, maka jelaslah Mushaf Ibn Mas‘ud tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menolak kesahihan Mushaf ‘Uthman.

Mengenai Mushaf Ubay ibn Ka‘b, Jeffery mengatakan bahwa Mushaf Ubay memiliki banyak persamaan dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd dan al-khala‘. Padahal, Mushaf Ubay ibn Ka‘b juga banyak berbeda dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dari segi susunan surah dan ragam bacaan. Selain itu, terdapat paling tidak dua versi yang berbeda mengenai susunan surah Mushaf Ubay. Bergsträsser sendiri, konconya Jeffery, berpendapat bahwa Mushaf Ubay kurang berpengaruh dibanding dengan Mushaf Ibn Mas‘ud. Selain itu juga, murid-murid Ubay dari generasi sahabat seperti Ibn Abbas, Abu Hurayrah, dan ‘Abdullah ibn al-Sa’ib menerima Mushaf ‘Uthman.

Mengenai riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ubay mengandung dua surah ekstra; al-HafÌ dan al-khala‘, adalah riwayat palsu karena bersumber dari Hammad ibn Salama. Hammad meninggal pada tahun 167 H dan Ubay meninggal pada tahun 30 H. Jadi, paling tidak ada gap, dua sampai tiga generasi antara meninggalnya Ubay dan Hammad. Jadi, tidak mungkin Hammad bisa meriwayatkan langsung dari Ubay.

Mengenai Mushaf Ali ibn Abi Talib, Jeffery sendiri menyebutkan adanya perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf ‘Ali disusun menurut kronologi, ada pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf ‘Ali disusun menjadi tujuh kelompok. Karena informasi mengenai bentuk dan kandungan Mushaf ‘Ali itu tidak jelas, maka sangat tidak tepat untuk menganggap sebagai rival apalagi ingin menyamakan Mushaf ‘Ali dengan Mushaf ‘Uthman. Selain itu, jika Mushaf ‘Ali dianggap berbeda maka ketika menjadi khalifah keempat, mestinya Ali ra kan merubah Mushaf ‘Uthman karena tidak sesuai dengan al-Qur’an yang sebenarnya. Namun, hal ini sama sekali tidak terjadi. Begitu juga ketika pengikut Mu‘awiyyah yang dalam keadaan terdesak saat perang Siffin, mereka mengangkat Mushaf ‘Uthman sebagai tanda genjatan senjata. Saat itu, tidak ada seorangpun dari pengikut Ali ra. yang meragui Mushaf yang diangkat Mu‘awiyyah.

Bahkan Jeffery sendiripun menyatakan, bahwa Ali juga menyetujui kanonisasi yang dilakukan Uthman. Ali mengatakan ketika ‘Uthman membakar Mushaf-Mushaf: “Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya (law lam yasna‘hu huwa lashana‘tuhu).

Jeffery tidak mengerti ketika mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam al-Qur’an hilang. Masalah seperti itu sudah dibahas oleh para ulama kita secara mendetil dalam Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh. Jadi, dihapusnya ayat-ayat tersebut dari al-Qur’Én adalah kehendak dan ketentuan Allah swt. Terhapusnya ayat-ayat tersebut bukan karena kesembronoan atau kesilapan yang dilakukan oleh Rasullullah saw atau para sahabat. Jadi, ayat-ayat tersebut memang sudah tidak ada ketika Rasulullah saw masih hidup.

Ringkasnya, kaum Muslimin perlu hati-hati supaya tidak terpengaruh dengan pemikiran orientalis. Masalah yang sebenarnya sudah dalam kategori al-thabat, bisa menjadi mutaghayyirat, jika tidak hati-hati dalam membaca karya yang di tulis oleh para orientalis.